Terbaru

Kisah Mak Inah 64 Tahun di Bekasi Yang Tak Tersentuh Bansos

Bekasi, jurnalperistiwa.net – Di sebuah rumah sederhana berlantai plesteran seadanya di Kampung Wangkal RT 002 RW 004, Desa Sukajaya, Kecamatan Cibitung, Kabupaten Bekasi, hidup seorang perempuan lanjut usia bernama Inah (64). Ia sudah lama berharap mendapatkan bantuan sosial seperti warga lain di sekitarnya, namun hingga kini harapan itu belum pernah terwujud.

Inah mengaku tidak pernah mendapatkan bantuan sosial, meski warga lain di lingkungannya yang taraf hidupnya jauh diatas dirinya menerima bantuan sosial berupa beras hingga berkarung-karung, minyak goreng, dan telur. Kondisi ini membuatnya merasa sedih dan terpinggirkan.

“Beras seliter juga kaga. Orang-orang dapat beras sampai dua karung, Kita mah liatin tuh ya Allah. Saya sama-sama rakyat sampai kayak gini, nggak pisan, Pak. Nggak pisan dapat pak,” keluh Inah saat ditemui di rumahnya, Minggu (30/11/2025).

Inah tinggal bersama putra bungsunya. Sang anak bekerja serabutan sebagai penyapu atau pekerja kebersihan di perumahan tak jauh dari rumahnya. Pendapatannya hanya sekitar Rp450 ribu per minggu, yang bahkan sering tidak mencukupi kebutuhan dasar.

“Ya cukup nggak cukup, cukupin aja, Pak. Apa-apa kan mahal, makan aja kan nggak cukup Rp 30 ribu,” ujarnya.

Di tengah pembagian bantuan sosial yang baru-baru ini diterima banyak warga lain di kampungnya, Inah hanya mampu berharap bisa mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah guna meringankan beban hidupnya.

Inah mengaku hingga kini tidak ada penjelasan jelas dari ketua RT Maupun Ketua RW. Namun menurut Inah, banyak warga yang dinilai mampu justru mendapatkan bantuan. Ia menyebut beberapa di antaranya memiliki mobil dan bekerja di perusahaan besar.

“Lah itu ada yang gawe di PT, Pak. Rumahnya gede-gede, punya mobil tiga biji. Kemarin pada dapet, kita mah cuma melihat,” ungkapnya.

Ia mengaku pernah diminta menyerahkan fotokopi kartu keluarga, namun belum juga menerima bantuan apa pun. Kondisi kesehatan Inah pun memprihatinkan. Ia menderita penyakit jantung dan harus rutin kontrol serta menebus obat di puskesmas. Karena kesehatannya, ia tak lagi bisa bekerja sebagai buruh cuci seperti dulu.

“Jalan aja capek. Saya tiap bulan ambil obat. Obat darah tinggi, obat darah kental… lima macam,” ujarnya.

Di rumah kecil yang sempit itu, ia tidur berdempetan dengan putra nya beralasakan tikar, kadang di ruang tengah, kadang di ruang belakang rumah.

Ketika ditanya apa yang ingin ia sampaikan kepada pemerintah, Inah hanya berharap diperlakukan adil. “Saya mah pengen dapet kayak orang-orang. Jangan dibedain banget,” ucapnya lirih.

“Saya pengen banget dapet, mau sedikit mau banyak, yang penting dapet, Pak,” tutupnya berharap. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*